Masa Lalu Kota Palu dalam Sejarah Gedung Juang, Saatnya Jadi Cagar Budaya

waktu baca 3 menit
Sejumlah komunitas dan pemerhati sejarah Kota Palu usai berdiskusi di Gedung Juang, Minggu (23/7/2023). (Foto: Herianto)

LIKEIN, PALU – Nilai sejarah yang tinggi membuat membuat sejumlah komunitas dan pemerhati sejarah Kota Palu berharap Gedung Juang segera ditetapkan sebagai cagar budaya.

Gedung Juang di Jalan Hasanudin mulanya merupakan rumah kontrolir (Gezaghebber) Onder Afdeeling Palu. Pembangunannya dimulai 1 Juni 1924 di masa pemerintahan Kontrolir M.C Voorn, 31 Mei 1924 sampai 9 Desember 1925.

Dalam dokumen ‘Aanvullings Memorie van de Onder Afdeeling Paloe’ yang ditandatanganinya 14 Desember 1925, M. C Voorn merencanakan rumah itu akan selesai pembangunanya akhir Desember 1924. Tetapi keadaan keuangan di Onder afdeeling Paloe saat itu menyebabkan penundaan, sehingga rumah tersebut baru bisa difungsikan 1 April 1925.

Menurut Koordinator Komunitas Historia Sulteng, Herianto, Pembangunan rumah kontrolir Onder Afdeeling Palu pada tahun 1924 tidak terlepas dari kawasan baru yang diproyeksikan oleh penguasa sipil di Teluk Palu untuk menggantikan rumah dan kantor kontrolir sebelumnya yang kerap terdampak luapan Sungai Palu. Sebagai bagian dari bangunan rumah tinggal kontrolir tersebut dibuatlah ruang terbuka yang berfungsi sebagai alun-alun kota hingga tahun 1940-an. Dan sebuah penanda Palu sebagai ruang kota modern dimulai.

Baca Juga :   Dari Sejarah, Sampai Pahit Manisnya Pinang Sirih

Pada rentang 1942 hingga 1945 atau pada fase pendudukan Jepang, bangunan rumah kontrolir dengan alun-alunnya sebagai simbol pusat kota modern Palu segera diubah fungsinya menjadi markas pasukan Jepang, lapangan di depannya berubah nama menjadi lapangan Honbu yang artinya markas besar.

Buku Sejarah ‘Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Tengah’ menyebut, pada 31 Desember 1946, bekas rumah kontrolir itu pernah menjadi lokasi perundingan antara L. Barrau dengan pimpinan Gerakan Merah Putih yang membawa massa kurang lebih 1000 orang, yang berasal dari Sigi, Dolo, Tawaeli, dan Palu untuk menuntut pembebasan anggota Gerakan Merah Putih yang ditahan.

Pada 1 Mei 1950 bangunan itu dijadikan markas oleh pasukan Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) yang dipimpin oleh R. Soengkowo. Hal ini diikuti dengan perubahan nama alun-alun di depan rumah tersebut yang di masa pendudukan Jepang dinamakan Lapangan Honbu, menjadi Lapangan Nasional.

Dalam catatan sejarah Kota Palu, pada 6 Mei 1950, Lapangan Nasional menjadi lokasi pembacaan maklumat oleh pucuk pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang juga Magau Palu, Tjatjo Idjazah, yang isinya antara lain pernyataan tiga kerajaan, yakni Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya, untuk melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Baca Juga :   Mengenal Kekayaan Megalit Lembah Bada: Dari Watu Baula Hingga Patung Oba

Lalu pada tahun 1978 sampai 1986, dilakukan penataan rumah tinggalan kontrolir belanda tersebut, saat itu namanya telah berubah menjadi Gedung Juang pun ruang terbuka yang berada di depannya dilakukan penataan.

Di Bulan Juni 2003, Pemerintah Kota Palu mengubah nama Lapangan Nasional menjadi Taman Nasional.

Berlatarbelakang sejarah penting gedung tersebut dengan sejarah perkembangan Kota Palu sebagai kota modern serta arsitekturnya yang khas yakni pertemuan budaya itulah sejumlah komunitas yang tergabung dalam Forum Revitalisasi Gedung Juang menilai sudah saatnya Gedung Juang harus diselamatkan.

“Jalan pertamanya adalah tetapkan menjadi Cagar Budaya dan hidupkan aktivitas publik di dalamnya,” kata Herianto, Rabu (27/7/2023).

Status tersebut dinilai juga bisa membuat upaya pelestarian bangunan bergaya Eropa itu lebih maksimal. (Santo)

Facebook Comments Box