Komunitas Perempuan Lore Tengah dan Metode FPAR untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam

waktu baca 3 menit
Ket: Komunitas perempuan di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengadakan pertemuan strategis untuk membahas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan pendekatan Feminist Participatory Action Research (FPAR). Sumber Foto: ROA

LIKEIN, POSO – Komunitas perempuan di Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengadakan pertemuan strategis untuk membahas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dengan pendekatan baru.

Pendekatan yang dimaksud ialah menggunakan metode Feminist Participatory Action Research (FPAR) sebagai pendokumentasian persoalan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk hutan dan sektor lainnya.

Feminist Participatory Action Research (FPAR) adalah program penelitian yang berpusat pada pemenuhan hak asasi perempuan dengan cara mengolah dan menganalisa pengalaman serta pengetahuan perempuan dan partisipasi perempuan sebagai agen perubahan.

Dalam pelaksanaannya, FPAR melibatkan kelompok dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai upaya merumuskan aksi bersama dalam pemenuhan hak-hak perempuan.

Staf Pendamping Komunitas dari Relawan Untuk Orang dan Alam (ROA), Lena, juga sebagai pihak yang terlibat dalam program green livelihood Alliance bekerjasama dengan Non Timber Forest Programme Exchange Indonesia (NTFP-EP) mengungkapkan bahwa dalam bidang pengelolaan dan pengambilan keputusan atas kawasan baik lahan perkebunan, pertanian, dan kawasan hutan masih dianggap sebagai urusan laki-laki, sehingga mempersulit partisipasi perempuan dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan.

Baca Juga :   Penemu AI Peringatkan Chatbot AI Bisa Lebih Cerdas Dari Manusia

“Perempuan kerap tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena batasan sosial, agama, logistik, dan kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan,” ujar Lena, sebagaimana informasi yang diterima likein, Minggu, (6/08/2023).

Menurut Lena, bagi perempuan, hutan dan lahan tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi memiliki makna yang lebih luas. Hutan dan lahan mempunyai nilai sosial, budaya dan merupakan bagian dari eksistensi kehidupan perempuan. Nilai-nilai inilah yang harus dijaga dan dipertahankan.

Perempuan di kalangan masyarakat baik di dalam maupun sekitar kawasan hutan memperoleh separuh pendapatan mereka dari hutan, jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Dugaan pendapatan dari kegiatan di hutan mencapai seperlima dari total pendapatan rumah tangga keluarga yang tinggal di pedesaan dalam dan sekitar hutan.

“Walaupun kontribusi laki-laki terlihat lebih besar daripada perempuan karena aktivitas mereka dalam menghasilkan sejumlah pendapatan rumah tangga, namun kaum perempuan terlibat banyak dalam kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok, pengelolaan lahan, serta pengolahan hasil hutan dan kebun,” tambah Lena.

Baca Juga :   Pengangkatan Honorer 2023 Belum Dapat Dipastikan

Konsorsium ROA – YPAL bekerjasama dengan NTFP EP Indonesia atas dukungan GLA 2.0 mendorong metode FPAR digunakan sebagai strategi penguatan perempuan adat dan lokal untuk memperbesar peran mereka dalam menghadapi berbagai ancaman yang dapat mengganggu keberlanjutan hutan dan lahan mereka.

Diharapkan melalui kegiatan ini, perempuan dapat terlibat aktif dalam organisasi dan berkontribusi dalam pembangunan di Kecamatan Lore Tengah atau Lembah Behoa agar wilayah tersebut dapat lebih maju ke depan.

Kegiatan FPAR diikuti oleh 12 peserta dari Desa Bariri, Baliura, Hanggira, Lempe, dan Doda yang dipandu oleh 2 orang fasilitator dari ROA. Pertemuan yang berlangsung selama dua hari di bariri, Kabupaten Posos sejak Jumat (6/8/2023) itu diharapkan akan melahirkan rencana kerja dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna memberdayakan peran perempuan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan melindungi lingkungan hidup mereka. (Kn/Kn)

Facebook Comments Box