Sungai Palu, Banjir, dan Penanganannya Sejak Belanda hingga Indonesia
Banjir akibat luapan Sungai Palu ternyata sudah terjadi sejak lama bahkan di masa Belanda. Hingga kini sungai ikon Kota Palu itu belum benar-benar tertangani.
BPBD mencatat 2.983 Jiwa terdampak banjir akibat luapan Sungai Palu di 5 kelurahan yang terjadi Selasa, 6 September 2022. Jembatan III ditutup sementara karena debit air yang hampir mencapai penghubung timur dan barat Palu tersebut. Kendati berdampak luas, ancaman sungai itu adalah cerita tahunan yang bahkan jadi sejarah Kota Palu yang sejak dahulu gagal diredam.
Hampir semua literatur sejarah perkembangan Kota Palu, menempatkan Sungai Palu sebagai bagian fundamentalnya. Peradaban hingga penyebaran Islam di ibu kota Sulawesi Tengah itu misalnya, bermula dari sana.
Namun ada satu hal yang hampir dilupakan yakni potensi bencana dari Sungai Palu yang tetap ada hingga sekarang yang belum mampu benar-benar diatasi.
Belanda banyak mencatat sejarah luapan Sungai yang membelah Palu menjadi 2, barat dan timur itu. Di zaman Kolonial, banjir akibat Sungai Palu sampai menggenangi Onder Affdeling atau Kantor Pemerintahan Belanda yang berada di Maesa waktu itu. Bahkan di Tahun 1920-an karena sebab yang sama, pusat pemerintahan dipindahkan ke lokasi Gedung Juang saat ini.
“Laporan bencana itu dituliskan oleh M.C. Voorn, Kontroleur Palu, dalam ‘Memori Van Overgave-nya’ (Laporan Pejabat Kontroleur) 15 Desember, 1925,” Koordinator Komunitas Historia, Sulawesi Tengah, Herianto menceritakan, Kamis, 08 September 2022.
Banjir besar yang juga tercatat oleh Belanda yakni terjadi September tahun 1933. Dalam arsip tersebut dituliskan Sibalaya dan Kalawara daerah yang terdampak parah.
Besarnya potensi banjir dari Sungai Palu membuat Belanda, tahun 1933 melakukan riset untuk membenahi aliran sungai agar dampak bisa diminimalisasi. Hasilnya beberapa titik aliran sungai direkayasa karena membahayakan infrastruktur. Arsip dengan judul ‘Onderzoeg Paloe River’ ( Riset Sungai Palu) memuat catatan itu.
Di era Pemerintahan Indonesia, proyek pertama untuk meredam luapan Sungai Palu dilakukan tahun 1960-an. Saat itu dibuat ‘Kali Palu’ untuk menanggul tepi-tepi sungai di sekitar Jembatan I agar tidak masuk jauh ke wilayah Ujuna, Kampung Baru, dan Kampung Lere.
Para tahanan politik yang disangka terlibat Partai Komunis Indonesia saat itu diperkerjakan dalam proyek tersebut.
Hingga tahun 2022, Sungai Palu masih kerap meluap dan mengancam permukiman di kelurahan-kelurahan di sekitarnya. Hulu sungai di Kabupaten Sigi disebut menjadi salah satu kunci pengendalian sungai tersebut.
“Di hulunya di Sigi, Sungai Palu dikenal sebagai Sungai Gumbasa, masyarakat Kaili meyakini kata Gumbasa berasal dari kata Gumba Napasa, tempayan atau tempat air yang pecah dalam bahasa Indonesia. Tidak Heran Jika Sungai Gumbasa meluap maka akan terjadi banjir di Sungai Palu,” Herianto memungkasi. (Santo)