Mengenal Burung Maleo dan Ekologinya di Morowali hingga Tolitoli
LIKEIN, SULTENG – Burung Maleo yang memiliki nama latin Macrocephalon Maleo Muller dikenal sebagai endemik Sulawesi yang menyebar alami di beberapa wilayah, termasuk Sulawesi Tengah.
Burung yang berasal dari suku Megapodiidae tersebut terdapat di Cagar Alam Morowali, Taman Nasional Lore Lindu, dan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Tolitoli.
Dalam buku Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi dijelaskan bahwa ukuran tubuh maleo tidak lebih besar dari ayam hutan, dengan berat kurang lebih 3 kilogram dan panjang dari paruh sampai ekor berkisar 50 hingga 55 cm.
Jika dilihat dari jauh, antara burung maleo jantan dan betina relatif sulit dibedakan lantaran memiliki ukuran yang sama.
Cara membedakan maleo jantan dan betina bisa dilihat dari perbedaan warna bulu di bagian dada. Bulu dada maleo jantan berwarna agak kemerah-merahan sedangkan pada betina berwarna abu-abu.
Maleo jantan dan betina juga dapat dibedakan dari bentuk kepala, di mana bentuk tulang kepala maleo jantan lebih condong ke belakang.
Pada bagian kepala maleo juga terdapat mahkota yang disebut kapseti yang berfungsi mengukur temperatur ketika burung maleo menggali lubang untuk peletakan telur.
Telur maleo berbentuk oval dengan warna putih kemerah-merahan, beratnya sekitar 4-5 kali lebih berat dari telur ayam kampung.
Maleo aktif pada siang hari, pada waktu malam, fauna ini tidur di pohon-pohon.
Lalu ketika ada bahaya, maleo lebih suka berlari bersembunyi di tumbuh-tumbuhan daripada terbang.
Maleo turut menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari makanan dipermukaan tanah dengan cara mengais-ngais tanah dengan jari kakinya seperti yang dilakukan ayam peliharaan ketika mencari makan.
Di habitat aslinya maleo memakan buah, biji-bijian, cacing dan serangga. Jenis makanannya antara lain buah kemiri, buah pangi, buah berbagai jenis beringin, buah woka, dan buah tangkil, serta buah konduri.
Maleo juga diketahui mengonsumsi hewan invertebrata seperti kumbang, semut, dan rayap, bahkan siput.
“Bila dibandingkan antara panjang dan bobot tubuh dengan lebar sayap, maka sayap burung maleo tidak ideal untuk melakukan penerbangan yang baik, hal inilah yang menyebabkan bunyi kepakan sayap burung maleo sangat keras terdengar saat terbang,” jelas Abdul Haris Mustari, Peneliti Burung Maleo dari IPB University, Sabtu (26/8/2023).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut Burung Maleo menjadi salah satu fauna endemik Pulau Sulawesi yang berkategori Critically Endangered atau terancam kritis.
Hal itu disebabkan karena mayoritas habitatnya hilang akibat dari pembangunan dan pertumbuhan populasi manusia yang berkembang cepat serta perburuan liar untuk dimakan dagingnya. (Inul/St)