Kekhawatiran Publik soal Politik Uang Menguat Jelang Pilkada

waktu baca 2 menit
Ilustrasi praktik politik uang, sebuah amplop berisi sejumlah uang. (Foto: iStockphoto)

LIKEIN, JAKARTA – Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di seluruh negeri pada 27 November mendatang. Sebanyak 541 pemimpin daerah akan dipilih, mencakup tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Meski Pilkada serentak dinilai lebih demokratis dan efisien dalam penggunaan anggaran negara, satu masalah terus mencuat, yaitu meningkatnya praktik politik uang atau money politics baik di tingkat nasional maupun daerah.

Direktur Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, yang juga Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, menyatakan, sistem pemilu dan Pilkada serentak telah menciptakan kultur yang semakin menerima praktik politik uang sebagai hal wajar.

“Sejak dimulai pada 2019, ada tren konsisten yang menunjukkan bahwa masyarakat semakin menganggap politik uang sebagai hal yang biasa. Pemilih yang tidak menganggap politik uang itu wajar justru semakin sedikit,” ujar Burhanuddin dalam seminar nasional yang digelar pada Rabu (20/11/2024), dikutip dari mediaindonesia.com.

Baca Juga :   PAN Resmi Usung Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri di Pilgub Sulteng 2024

Burhanuddin menambahkan, sejak pemilu serentak pertama pada 2019, toleransi terhadap politik uang meningkat hingga 16 poin.

Sebelum pemilu serentak, sekitar 30 persen pemilih menganggap politik uang sebagai hal wajar. Namun, angka ini terus meningkat di berbagai level pemilihan, mulai dari provinsi, kabupaten/kota, serta luar negeri.

Kekhawatiran terkait praktik politik uang juga tergambar dalam hasil survei Litbang Kompas pada 23 hingga 25 September 2024.

Survei tersebut melibatkan 532 responden dari 38 provinsi, yang mayoritas mengaku khawatir dengan meningkatnya politik uang menjelang Pilkada 2024.

Sebanyak 47,7 persen responden menyebut politik uang sebagai kekhawatiran utama. Sedangkan potensi kerusuhan antar pendukung disebut oleh 22,2 persen responden.

Kampanye negatif menjadi kekhawatiran 12,9 persen responden, sementara polarisasi politik di masyarakat disebut oleh 8,6 persen responden.

Hanya 3,9 persen responden yang menyatakan tidak khawatir terhadap isu apapun, sedangkan 4,7 persen lainnya tidak memiliki pendapat.

Baca Juga :   Bawaslu Sulteng: Politik Uang Adalah Kejahatan Pemilu

Survei lain dari Populix bertajuk “Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024” menunjukkan bahwa tim sukses menjadi pihak yang paling banyak dituding menawarkan imbalan kepada pemilih.

Sebanyak 77 persen responden menyebut tim sukses sebagai pelaku utama politik uang.

Pengurus partai politik berada di posisi kedua dengan 43 persen, disusul teman atau tetangga sebesar 21 persen.

Ketua RT/RW disebut oleh 20 persen responden, dan aparat desa oleh 11 persen responden.

Temuan-temuan ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat atas meningkatnya praktik politik uang yang dapat mengancam integritas pemilu dan kualitas demokrasi di Indonesia.

Meskipun Pilkada serentak membawa manfaat berupa efisiensi dan demokratisasi, tantangan besar berupa praktik politik uang masih menjadi isu utama yang harus diselesaikan agar Pilkada 2024 berlangsung lebih adil dan bersih. (Nasrullah/Inul)

Facebook Comments Box