Hari Media Sosial: Perspektif Mahasiswa Untad tentang Interaksi di Era Digital
LIKEIN, PALU – Setiap 10 Mei menjadi momentum spesial bagi pengguna media sosial di Indonesia.
Tahun ini, perayaan Hari Media Sosial memasuki tahun ke-9 sejak inisiasi pada tahun 2015 oleh Handi Irawan, seorang pengusaha terkemuka di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat dalam memanfaatkan media sosial.
Meskipun menjadi alat yang mempermudah interaksi sosial, media sosial juga membawa dampak negatif yang tidak bisa diabaikan.
Seperti yang dikatakan oleh Patong, mahasiswa Sosiologi dari Universitas Tadulako (Untad), media sosial memiliki dampak besar terutama dalam ranah sosiologi makro, di mana pengaruh politisi melalui media sosial bisa lebih efektif daripada interaksi tatap muka.
“Saya ambil gambaran dari fenomena politik, salah seorang politisi bisa mempengaruhi kelompok masyarakat Kota Palu lewat media sosial. Secara tidak langsung interaksi media sosial lebih efektif dibandingkan dengan interaksi dengan tatap muka,” ujarnya kepada Likein.id, Senin (10/6/2024).
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Poca, sesama mahasiswa Sosiologi Untad. Menurutnya, penggunaan media sosial secara massif telah membuat masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap informasi dan orang-orang di sekitarnya.
“Dengan penggunaan media sosial secara massif apalagi informasi yang belum benar adanya, masyarakat sudah terlalu skeptis dengan orang-orang yang ada di sekitarnya,” tutur Poca.
Namun, perspektif Gufran memperlihatkan sisi lain dari penggunaan media sosial. Baginya, media sosial dapat menciptakan kesadaran palsu dalam interaksi sosial karena terlalu sering terpapar oleh informasi yang mungkin belum diverifikasi secara akurat.
“Karena terlalu sering mengkonsumsi media sosial, interaksi sosial yang kita lakukan pada akhirnya hanya berdasarkan dari informasi atau tontonan kita di media sosial,” jelas Gufran.
Ketiganya, meskipun memiliki pandangan yang berbeda, sepakat bahwa media sosial dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap interaksi sosial masyarakat.
Kekhawatiran mereka tentang ketergantungan pada media sosial, penyebaran budaya pembatalan (cancel culture), dan potensi konflik yang ditimbulkan menjadi sorotan utama.
Poca menambahkan kekhawatiran tentang cancel culture yang sering terjadi, baik dalam interaksi online maupun offline. Dia menyadari bahwa kurangnya upaya dalam pencarian informasi mendalam dapat menyebabkan pengucilan dan penghujatan terhadap individu atau kelompok tertentu.
Sementara itu, Patong menyoroti potensi konflik yang dapat muncul akibat ketergantungan yang berkepanjangan terhadap media sosial. Dia percaya bahwa penggunaan yang tidak bijak bisa menjadi pemicu bagi banyak konflik dalam masyarakat.
“Kalau tidak bijak dalam menggunakan media sosial, saya yakin pasti banyak konflik yang terjadi,” pungkas Patong. (Nasrullah/Inul)