Eloknya Huntap Mamboro; Buah Sukses Kolaborasi untuk Permukiman Pascabencana
LIKEIN, PALU – Garapan pembangunan pascabencana gempa bumi bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018 silam di kawasan Pasigala (Kota Palu, Sigi, dan Donggala) berhasil membangkitkan kembali permukiman yang aman dan nyaman bagi para penyintas.
Keberhasilan pemulihan pascabencana yang dipicu aktivitas sesar palu koro itu dapat dilihat dari keelokan pembangunan hunian tetap (huntap) Mamboro yang dibangun secara mandiri oleh penyintas melalui pendampingan Yayasan Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia dan PUPR.
Huntap Mamboro disebut sebagai representasi keberhasilan pembangunan permukiman pascabencana sebab memiliki ciri khas bangunan unik dengan ciri khas rumah tradisional yang memiliki tapak dan panggung, namun kontruksi tahan gempa.
Keberhasilan pembangunan huntap Mamboro juga bahkan diakui oleh PBB dan mendapat penghargaan World Habitat Awards Bronze Winner 2021 melalui UN Habitat pada Desember tahun 2021 lalu.
Penghargaan itu diberikan karena huntap tersebut dinilai merupakan proyek permukiman terbaik dalam upaya pemulihan, rekonstruksi, dan relokasi berbasis komunitas.
“Proses yang tidak mudah dilalui di awal; mengidentifikasi kebutuhan penyintas dan kebijakan pemerintah untuk berkolaborasi bersama adalah bagian penting dari proyek ini,” kata Direktur Yayasan Arkom Indonesia, Yuli Kusworo, Minggu (10/9/2023).
Mamboro merupakan salah satu kelurahan di Kota Palu yang ikut terdampak bencana gempa bumi dan tsunami sebab berada di kawasan pesisir Palu Utara dan masuk dalam zona rawan bencana yang ditetapkan pemerintah. Sedikitnya terdapat 38 unit huntap di lokasi relokasi tersebut.
Kondisi geografis itu juga menjadi alasan puluhan huntap dibangun pada radius 250 meter dari bibir pantai.
“Memang setelah bencana itu kami bingung mau pindah di mana. Tapi bersyukur akhirnya kami mendapat tempat ini,” tutur salah satu penyintas bencana di Huntap Mamboro, Emilia.
Butuh waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota Palu untuk menyambangi huntap elok tersebut.
Keelokannya bahkan turut didukung oleh pemberian warna bangunan yang berbeda-beda di setiap rumah. Hal ini dilakukan sebagai simbol keberagaman dari masing-masing pemilik rumah.
Pembangunan huntap dengan ciri khas tradisional itu disebut bukan sekadar membangun rumah untuk penyintas, melainkan juga membangun kemampuan warga dalam hal rancang bangun, perencanaan kawasan, hingga pemberdayaan ekonomi. (Inul/St)