Bisnis Karbon Dinilai Perburuk Krisis Iklim di Sulawesi Tengah

waktu baca 2 menit
Diskusi publik bertajuk “Kaum Muda untuk Keadilan Iklim: Aksi Lokal untuk Isu Global” digelar oleh Kaum Muda Bersuara (Kasuara) di Kedai Sirqel, Kota Palu, Kamis malam (21/11/2024). (Foto: Nasrullah/Likein.id)

LIKEIN, PALU – Praktik bisnis karbon yang masih berlangsung di Sulawesi Tengah (Sulteng) dinilai semakin memperburuk kondisi krisis iklim yang sedang terjadi.

Hal itu disampaikan oleh Peneliti Lingkungan, Arianto Sangadji, dalam diskusi publik bertajuk “Kaum Muda untuk Keadilan Iklim: Aksi Lokal untuk Isu Global” yang digelar oleh Kaum Muda Bersuara (Kasuara) di Kedai Sirqel, Kota Palu, Kamis malam (21/11/2024).

Menurut Arianto, praktik bisnis karbon, termasuk yang terjadi di Sulteng, berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan dan memperburuk perubahan iklim.

Baca Juga :   Menghitung Kualitas Udara Kota Palu dengan ISPU, Amankah?

“Contohnya, kehadiran PLTU captive di sejumlah perusahaan ekstraktif nikel sangat memperburuk keadaan krisis iklim di Indonesia,” ujar Arianto Sangadji dalam diskusi tersebut.

Diskusi ini diadakan untuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya penanggulangan krisis iklim.

Selain Arianto, diskusi juga mengundang Direktur Ekonesia, Azmi Sirajuddin, untuk membahas ketimpangan dalam pelaksanaan penanggulangan krisis iklim di Sulteng.

Wandi, perwakilan Kasuara, menyampaikan bahwa krisis iklim sudah menunjukkan dampak nyata, seperti pencemaran lingkungan, polusi udara, serta cuaca yang semakin tidak menentu.

“Krisis iklim sudah mulai nampak, mulai dari pencemaran lingkungan, polusi udara, kemudian cuaca yang tidak menentu yang terjadi di Indonesia, termasuk Sulteng,” kata Wandi.

Baca Juga :   Penjait di Palu Minta Pemerintah Perhatikan Tukang Jahit Lokal

Wandi juga menambahkan, meski pemerintah Sulteng telah menetapkan target untuk menangani krisis iklim, implementasinya belum tampak.

“Belum lagi pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memenuhi kepentingan perusahaan yang menjadi faktor krisis alam,” tandas Wandi.

Sebagai catatan, diskusi publik ini juga menjadi bentuk kritik atas pertemuan sejumlah negara, termasuk Indonesia, di COP 29, yang dianggap tidak memberikan solusi atas pengurangan emisi gas dan penanganan krisis iklim dunia. (Nasrullah/Inul)

Facebook Comments Box