Walhi Sulteng Dukung Warga Bungku Tolak Izin Tambang Nikel di Morowali

waktu baca 3 menit
Ilustrasi tambang, Foto : Unsplash/Dominik Vanyi

LIKEIN, PALU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah mendukung pernyataan sikap warga Kecamatan Bungku Tengah Kabupaten Morowali yang menolak Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel di Morowali.

Penolakan IUP sejumlah perusahaan Nikel yang dimaksud adalah Mineral Morowali Indonesia (MMI), Delapan Inti Power (DIP) dan Sugico Pendragon Energi (SPE).

“Kami mendukung sikap warga Bungku Tengah yang tergabung dalam Aliansi Tepeasa Moroso melakukan aksi menolak Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Morowali Indonesia (MMI), Delapan Inti Power (DIP) dan Sugico Pendragon Energi (SPE) dan meminta untuk IUPnya dicabut,” ungkap Sunardi dalam keterangan resmi yang diterima Likein, Rabu (19/7/2023).

Penolakan warga melalui aksi massa di Kantor Bupati Morowali pada Selasa (18/7/2023) menurut Sunardi adalah bentuk reaksi warga yang khawatir atas ancaman kerusakan lingkungan dan akan berdampak buruk pada kehidupan sosial ekonomi warga di Morowali.

Sunardi mengungkapkan bahwa kekhawatiran warga tentu sangatlah mendasar, mengingat terdapat dua kawasan industri nikel terbesar di Indonesia di Morowali. Kawasan itu adalah Indonesia Morowali Industri Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali dan Stardust Estate Invesment (SEI) di Kecamatan Petasia Timur Kabupaten Morowali Utara.

Baca Juga :   Pemda di Tiga Kabupaten di Sulteng Ini Beri Asuransi untuk Penyelenggara Pemilu, Termasuk KPPS

Kedua kawasan industri tersebut diketahui merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah ditetapkan Presiden Jokowi. Namun diduga telah memberikan dampak kerusakan lingkungan dan kehidupan para petani serta nelayan dipesisir baik penangkap ikan maupun budidaya rumput laut.

Tak hanya itu, debu PLTU batu bara serta Smelter pengolah ore mengakibatkan hujan asam dan pencemaran udara yang berdampak pada kesehatan saluran pernapasan warga.

Ancaman penyakit lainnya juga disebutkan berasal dari endapan pengelolaan ore yang terbawa air saat hujan. Akibatnya, sungai keruh serta adanya ancaman banjir jika intensitas hujan tinggi melanda dikawasan itu.

“Belum lagi air bersuhu panas limbah dari smelter, jika dibuang ke laut merusak terumbu karang dan ekosistem laut membuat ikan tidak akan hidup. Hasilnya tangkapan nelayan pun berkurang, ancaman tumpahan batu bara ke laut dari tongkang yang hilir mudik juga mengganggu aktifitas nelayan,” imbuhnya.

Selain itu, permasalahan saat pembangunan sarana prasarana kawasan industri dan jeti diduga merampas wilayah tanah warga yang berjarak dari kawasan PLTU batu bara sekitar 500 meter sampai dengan 700 meter dari pemukiman warga.

Baca Juga :   Jalan I Gusti Ngurah Rai Mulai Diperbaiki

“Situasi ini tentunya tidak diinginkan warga di Kecamatan Bungku Tengah Desa Bente, Desa Bahomoleo, Desa Bahomohoni dan Desa Bahomante yang hanya berjarak 4000 meter dari wilayah-wilayah IUP tersebut,” tutup Sunardi.

Dihimpun berbagai sumber, diketahui luas MMI sebesar 154,00 hektare dengan Surat Keputusan (SK) IUP Nomor 188.4.45/KEP.0262/DESDM/2014 berlokasi di Kecamatan Bungku Tengah khususnya Desa Bahoruru dan Desa Sakita. Saat ini MMI telah operasi produksi mineral logam sejak SK diterbitkan pada 12 April 2014 dan akan berakhir pada 12 April 2024 mendatang.

Perusahaan DIP memiliki luas 4.941,00 hektare berlokasi di Desa Bahomoleo, Desa Bahoruru, Desa Bente, Desa Ipidan Matansala. DIP berstatus operasi produksi mineral logam dengan SK IUP Nomor 28/1/IUP/PMDN/2023 diterbitkan pada 6 Februari 2023 berakhir pada 1 Oktober 2032 akan datang.

Sementara SPE seluas 4.250,00 hektare berada di Desa Bahomohoni, Desa Bahomoleo dan Desa Bente. Saat ini SPE sedang operasi produksi mineral logam dengan SK IUP Nomor 31/1/IUP/PMDN/2023 terbit pada 6 Februari 2023 berakhir 1 Desember 2032. (Kn/Kn)

Facebook Comments Box