Hunian Penyintas di Palu Ini Dapat Penghargaan PBB, Apa Keunikannya?

waktu baca 2 menit
Huntap mandiri di Kelurahan Mamboro yang dapat penghargaan dari World Habitat, PBB. (Foto: Hersi Susanto).

LIKEIN, PALU – Tidak hanya bergaya konvensional seperti hunian tetap penyintas gempa umumnya, sebuah permukiman penyintas bencana di Mamboro tampak unik dengan model rumah tradional namun kontruksi tahan gempa. Permukiman dengan rumah-rumah berwarna-warni itupun mendapat penghargaan dari PBB.

Hunian yang unik itu berada di Kelurahan Mamboro, tepatnya 250 meter dari bibir pantai. Desember tahun 2021 lalu huntap yang dibangun secara mandiri oleh penyintas bencana itu mendapat penghargaan World Habitat Awards Bronze Winner 2021dari PBB melalui UN Habitat.

Penghargaan itu diberikan karena huntap tersebut dinilai merupakan proyek permukiman terbaik dalam upaya pemulihan, rekonstruksi, dan relokasi berbasis komunitas. Lalu apa yang menarik dari huntap itu?

Baca Juga :   Atasi Krisis, Sekjen PPB Utamakan Ekspor Pangan ke Rusia dan Ukraina
Di lokasi relokasi mandiri berdiri 38 rumah dengan model tapak dan panggung, kearifan lokal setempat. Model tradisional itu dikombinasikan dengan panel Rumah Instan Sederhana dan Sehat (RISHA) yang tahan gempa yang dibuat sendiri oleh warga setempat dengan pendampingan Yayasan Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia dan PUPR. Panel-panel tersebut menjadi penopang di bagian bawah rumah.

Yang menarik iuran bulanan juga masih dijalankan warga setempat untuk pemenuhan kebutuhan kelompok di lokasi relokasi itu.

“Memang setelah bencana itu kami bingung mau pindah di mana. Tapi bersyukur akhirnya kami mendapat tempat ini. Kami tidak sendiri, kami saling menguatkan, saling membantu, bekerjasama dengan baik, makanya kami sampai di titik ini.” Emilia, salah satu penyintas bencana mengatakan, Jumat, 7 Oktober, 2022.

Hal unik lain yang mencolok adalah warna-warni rumah-rumah di lokasi itu. Bukan tanpa alasan, warna yang berbeda antarrumah itu sebagai simbol keberagaman dari masing-masing pemilik rumah. 

Pemilihan lokasi hunian yang berjarak sekitar 250 meter dari bibir pantai sendiri dilakukan warga secara kolektif untuk menghindari zona rawan bencana yang ditetapkan pemerintah pascatsunami. 

Pembangunan hunian yang unik itu disebut bukan sekadar membangun rumah untuk penyintas, melainkan juga membangun kemampuan warga dalam hal rancang bangun, perencanaan kawasan, hingga pemberdayaan ekonomi.  

“Proses yang tidak mudah dilalui di awal; mengidentifikasi kebutuhan penyintas dan kebijakan pemerintah untuk berkolaborasi bersama adalah bagian penting dari proyek ini.” kata Direktur Yayasan Arkom Indonesia, Yuli Kusworo.
Facebook Comments Box